Kebahagiaan Seorang Jomblo

Senin (10 Januari 2016), kuawali hariku seperti biasa. Bangun pagi jam 04.00 WIB, mandi, lalu mulai beraktivitas. Benar-benar seperti hari-hari yang telah lalu. Hanya saja, ketika membuka katup mata, kudapati ada teman kuliah dulu di kamarku. Kawan seperjuangan, tapi beda nasib. Namanya Marko. Lengkapnya Top Markotop. Sudah pasti ini nama samaran, bukan asli.

Seperti nama palsu itu, dia termasuk tipe cowok yang top. Diakui atau tidak, dia sedikit lebih ganteng dibandingkan aku. Ya, sedikit saja, lebih banyak aku. Ha… ha… Selain itu, dari cara berpakaian, dia cukup fashionable. Dari atas sampai bawah, semuanya mewah dan serba wah. Sungguh ngartis. Selevel dengan Ashrof Sinclair lah. Potongan rambut, setelan kemeja, hingga celana jeans, sungguh matching. Pas, cocok, dan sedap dipandang mata. Selain itu, parfumnya juga mahal dan berkelas. Dari jarak 1 km, mungkin aroma parfumnya sudah tercium oleh para gadis. Marko selalu mengingatkanku pada tokoh Cassanova, yang identik dengan playboy kelas wahid.

Berbeda jauh denganku yang cenderung cuek dan tampil apa adanya. Eh maaf, tepatnya, berpenampilan seadanya. Tanpa deodorant, apalagi parfum Axe yang bikin cewek klepek-klepek. Minyak wangiku cukup sederhana. Ramuan Kispray isi ulang, yang jika sudah hampir mencapai limit akhir, diisi lagi dengan air, lalu dikocok. Lebih cocok untuk menyemprot kecoa sebenarnya. Tapi, apa daya, aku tak tertarik berpenampilan parlente layaknya artis sinetron ataupun anggota DPR. Khawatir terjadi pitnah. He… he… 😀

Kembali lagi ke temanku itu. Dulu, semasa kuliah S1, dia punya cewek bernama Marie. Indah nian nama dua insan itu jika disandingkan. Marko dan Marie. Bak judul sinetron tujuh season yang tak rampung-rampung. Tapi, jangan berbaik sangka dulu. Nama lengkap si cewek itu Jos Mariejos. Alhasil, kalo dijejerkan dalam satu kalimat, nama mereka berdua lebih mirip seperti tagline iklan minuman berenergi. Top Markotop, Jos Mariejos! Akan lebih ciamik dan mantap bila diucapkan oleh almarhum Mbah Marijan.

Sayangnya, Marko bercerita bahwa kisah cintanya harus putus di tengah jalan. Usut punya usut, ternyata orangtua Marie tidak setuju dengan hubungan mereka berdua. Alasannya karena Marko bukan orang Jawa. Ia berasal dari pulau lain. Sebuah pulau yang dialiri sungai tempat mandi para korban putus cinta. Yup, betul sekali, Marko berasal dari Kalimantan (kali= sungai, mantan= korban putus cinta). Papa dan mama Marie tidak mau kalau nanti anak gadisnya diboyong ke sana. Mereka tidak ingin berpisah dengan putrinya yang imut-imut jabang bayi itu.

Saat Marko bercerita dengan mimik wajah yang mengharu biru dan bercucuran air mata, entah kenapa secara refleks bibirku menyunggingkan senyum. Aku betul-betul tidak menyadari itu. Bahkan, gara-gara ekspresi muka yang tidak kompak ikut bersedih, Marko menjadi kesal. Ia bermuram durja sekarang. Mungkin inilah pertama kalinya dia mengalami kegalauan tingkat nasional. Belum pernah kulihat dia sesedih ini.

“Cup, cup, sudah lah, nggak usah nangis,” bujukku.

“Huaaa, whuaaa.”

Suara tangisan Marko malah semakin keras. Ah, aku jadi bingung harus berbuat apa. Soal urusan asmara, laki-laki dan perempuan ternyata sama-sama baper. Terlalu terbawa perasaan. Pusing kepalaku memikirkan solusinya. Setelah memutar otak sejenak, aku memberanikan diri berucap, “Begini lho Ko, bukannya aku senang karena kamu sudah putus, tapi aku optimis nanti kamu akan mendapatkan pengganti yang lebih baik. Serius, Bro!”

Meski sudah kubujuk, tetap saja tangisannya tidak kunjung berakhir. Memang sih, kuakui aku salah karena tersenyum pada momen yang tidak tepat. Tapi, mau bagaimana lagi, lha wong itu terjadi secara spontan dan tanpa unsur kesengajaan. Manusia normal pada umumnya tentu bergembira ketika memperoleh teman senasib. Seperti kata pepatah masa kini, “Jomblo adalah nasib, single ialah pilihan.” Karena itu, mari memperbanyak teman senasib! Ha… ha… 😀